POSTMODERNISME
Oleh:
Junior Natan Silalahi
PENDAHULUAN
Dalam sejarah kehidupan
manusia dikenal tiga era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing,
yaitu: pramodern, modern dan postmodern.[1]
Pemikiran
masa pramodern selalu
menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan dan
masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia adalah persoalan dengan Allah.
Pada masa pramodern, teologi dijadikan sebagai ‘ratu ilmu pengetahuan’. Segala
sesuatu diukur dan harus diuji berdasarkan Alkitab. Sedangkan zaman modern
ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Melalui pernyataan
tersebut, manusia dibimbing oleh rasionya sebagai subjek yang berorientasi pada
dirinya sendiri sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali
manusia terutama tingkah lakunya. Kemampuan rasio menjadi kunci kebenaran
pengetahuan dan kebudayaan modern. Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak
berdiri dengan prinsip-prinsip rasio.
Pada
abad 19 dan 20 Era modern memang banyak menghasilkan kemajuan di banyak bidang
kehidupan umat manusia, akan tetapi hal itu juga membawa dampak negatif dengan
terjadinya peristiwa-peristiwa besar. Peristiwa buruk tersebut adalah terjadinya Perang Dunia I (1914-1918),
kemudian disusul dengan Perang Dunia II. Selain itu, terjadinya polusi yang
hebat, pencemaran lingkungann besar-besaran, eksploitasi tenaga kerja,
perbudakan, penjajahan (imperialism), pembersihan etnis (tribalism) di beberapa
tempat (misalnya, Bosnia, Somalia, Rwanda), kualitas kejahatan yang meningkat,
perpecahan suku bangsa, dan perang yang tak kunjung padam di beberapa negara di
dunia. Dari
pengalaman pahit di atas, maka lahirlah apa yang disebut sebagai postmodern.[2]
TERMINOLOGI
Menurut
H.W.B. Sumakul, awalan “post” dalam postmodernitas mempunyai dua arti - pertama, “putus hubungan dari” modernitas.
Kedua, “sesudah” atau “kelanjutan dari” modernitas. Arti pertama postmodernitas
adalah suatu dikontinuitas dari yang modern, sedangkan arti kedua adalah kontinuitas
dari yang modern.[3]
Apabila postmodernitas adalah diskontinuitas dari yang modern, ini berarti
antara era modern dan era postmodern putus hubungan sama sekali. Era postmodern
memisahkan diri dari era modern secara mutlak dan radikal. Dan arti yang kedua,
apabila postmodernitas merupakan kontinuitas era modern maka era postmodernitas
tidak bisa dipisahkan dari era tersebut.
Menurut
penulis sendiri, apabila disebut postmodernitas sebagai ‘putus hubungan’ dengan
era modern maka hal ini tidaklah mungkin dan merupakan hal yang mustahil.
Postmodernitas lebih dekat kepada defenisi bahwa era ini merupakan kelanjutan
dari era sebelumnya, yaitu era modern. Postmodernitas tidak bermaksud menolak
dan menyangkali akan hasil-hasil dari modernitas, melainkan lebih kepada
mengkritik akan pemahaman yang ada dibalik modernitas itu sendiri. Jadi Postmodernisme adalah paham yang tidak mengakui adanya kebenaran mutlak (absolute), melainkan menerima relativitas kebenaran dan keberbagaian kebenaran.
MUNCULNYA
POSTMODERNISME
Berangkat dari realita inilah
postmodern muncul dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat kritik
dari Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum
benar-benar diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan
modernisme secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran
baru dalam filsafat.[4]
Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan awal untuk menentang teori strukturalis
dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai
struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti
secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah benar
demikian. Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari
masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan
menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan
teks yang ditulisnya, semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya
sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya kepada
realitas.
Postmodern
sebagai filsafat pelopori oleh Friedrich Nietzsche, dengan mengeluarkan
kalimat yang sangat berpengaruh yaitu: “Tuhan sudah mati”. "Tuhan
sudah mati" (bahasa
Jerman: "Gott ist
tot") adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam memopulerkan
ungkapan ini.[5]
Inilah cara
Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk
berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi
mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri
tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan
hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga
kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan
terhadap keyakinan akan suatu hukum moral
yang obyektif dan universal, yang
mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan
inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan
mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal
ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen.
Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche
percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui)
kematian ini berdasarkan ketakutan atau kecemasan mereka yang paling terdalam.
Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus
asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya
pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum
di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah
sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi
Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik
manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas
Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya.
Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' yang sedang
bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir."
KONSEP KETUHANAN PADA ERA POSTMODERN
Nietzsche
percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa
Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi
kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang
Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang
sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya sehingga manusia boleh berhenti
mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari
dunia.
Menurut
Griffin dalam bukunya Tuhan
dan Agama dalam Dunia Postmodern, hal tersebut menawarkan apa itu yang disebut dengan Teologi
Postmodern.
Ada beberapa ciri khas teologi
postmodern. Pertama ; Tuhan dalam postmodern tidak dimengerti sebagai
sesuatu yang mengarah pada satu pribadi di luar dunia yang memberi pengaruh
pada dunia. Kedua: secara epistemologis teologi postmodern berdasarkan
pada pengakuan akan adanya persepsi non indarawi. Ketiga : dalam
memandang alam, postmodern berdasar pada alternatif lain yaitu pandangan yang
menyatakan bahwa perasaan dan nilai intrinsik merupakan ciri khas yang ada pada
semua individu yang membentuk alam.[6]
Griffin juga membicarakan Tuhan dalam postmodern.
Disini pertama-tama Griffin memberikan satu dasar atau latar belakang
bagaimana Tuhan dihayati dalam dunia modern sampai postmodern. Dalam dunia
modern Tuhan tidak lagi dihayati sebagai satu sumber keselamatan atau sumber
iman, melainkan Tuhan hanya dihayati sebagai satu pribadi yang ada. Semuanya
hanya berhenti pada paradigma yang semacam ini. Secara tidak langsung Tuhan
memang tidak ditolak secara radikal, tetapi pada abad ini Tuhan hanya dianggap
sebagai sesuatu yang ada yang tidak memberi pengaruh apa-apa. Karena pada masa
itu modernitas melahirkan apa yang disebut dengan komitmen formal. Saat itu
jaman pencerahan bangkit dan memandang bahwa komitmen formal ini pada akhirnya
melahirkan satu kebebasan. Komitmen ini lahir karena setiap keyakinan yang pada
waktu itu dihayati, termasuk juga Tuhan yang sunguh-sungguh membatasi kebebasan
manusia. Selain karena paham yang membatasi kebebasan ada juga pemikiran baru
bahwa pengertian dan pengalaman akan Tuhan itu dibatasi oleh persepsi indrawi.
Selain itu ada juga alasan yang saling berkaitan yang
mendorong semakin menurunya kepercayaan akan Tuhan. Alasan yang paling kuat
untuk menolak Tuhan adalah masalah kejahatan. Masalah ini jelas sekali
dalam pertentangannya antara kebaikan dan kekuasaan Tuhan yang diyakini ada
pada Tuhan, juga pengalaman adanya kejahatan. Dengan kata lain kejahatan
menjadi gambaran yang amat jelas bahwa Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa itu
tidak ada. Gagasan ini melahirkan satu pemikiran bahwa pada dasarnya pandangan
dunia modern mendefinisikan Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi yang ilahi
sebagai sumber kemahakuasaan. Seperti yang sudah tertulis di
atas pada
alasan kedua dalam
pandangan Teologi Postmodernisme, Griffin mengatakan bahwa alasan untuk menolak eksistensi Tuhan
adalah angapan bahwa percaya pada Tuhan menghambat dorongan untuk
mendapatkan kebebasan manusia dari segala penindasan yang menyeluruh. Dalam hal
ini yang menjadi permasalahan adalah gereja menjadi otoritas utama dalam mendakwa
dan menentukan kebebasan umat manusia. peristiwa Galileo menjadi satu polemik
besar bahwa Tuhan (Gereja) mengekang kebebasan manusiawi setiap manusia.[7]
Joas
Adiprasetya dengan mengutip David Tracy, menyimpulkan teologi postmodern
demikian,
“Wajah
sesungguhnya dari postmodernitas, sebagaimana dilihat oleh Emmanuel Levinas
dengan kejernihan yang sedemikian rupa, adalah wajah dari yang lain, wajah yang
berseru, “Jangan membunuhku,“ wajah yang memaksa, melampaui Levinas, jangan
menjerumuskan aku atau siapapun juga ke dalam kisah Agungmu.”[8]
Pandangan
ini mempercayai adanya Tuhan menjadi penghambat kebebasan manusia secara
menyeluruh. Dan Gereja adalah alat pengekang kebebasan tersebut.
Postmodernisme
sangat cepat mempengaruhi hampir semua bidang keilmuan dan kehidupan
masyarakat, termasuk juga teologi. Postmodernisme ini mempengaruhi beberapa
teolog sehingga muncullah istilah teologi
postmodern.[9]
PENGARUH POSTMODERNISME
PADA TEOLOG KRISTEN DI INDONESIA
Pengaruh Postmodernisme pada teolog
Kristen di Indonesia sesungguhnya sangat kuat. Ciri khas Era Postmodern adalah
"Pudarnya Kebenaran". Kebenaran absolute akan ditentang keras dan bila
mungkin disingkirkan, demi relativitas. Relativisme akan segala sesuatu akan
menguasai era postmo, di segala bidang termasuk bahkan akan meresapi dunia
agama. Tak heran, akibat dari kencangnya arus relativisme akan memunculkan
Antrophosentrisme (berpusat pada manusia). Manusia sebagai tolak ukur akan
segala sesuatu. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kemanusiaan akan "ditiadakan".
Postmodernisme sangat mengagungkan “keberbagaian”.
Dimana metode dialog sangat diandalkan
oleh kelompok ini, namun tanpa disadari telah merubah arti, termasuk merubah
arti dan hakikat agama Kristen. Metode dialog menjadi sampai pada taraf
menerima keabsahan kebenaran semua agama. Sehingga menghasilkan pandangan yang
berbunyi: “Deep down, all religions are the same – different paths leading to
the same goal”- Sesungguhnya, semua agama adalah sama – jalan-jalan yang
berbeda memimpin kepada tujuan yang sama. Sebut saja, Singgih dalam bukunya
yang berjudul: Iman dan Politik dalam Era
Reformasi di Indonesia, membangun sebuah teologi mengenai “the other”,
maksudnya ialah agama-agama lain, yang dapat dipertanggung-jawabkan secara
alkitabiah dan kontekstual. Pandangan ini memang tidak meniadakan
doktrin-doktrin Kristen, namun membuka diri terhadap pengadopsian kebenaran
doktrin agama lain.[10]
Hal ini terlihat juga dalam buku
bunga rampai yang berjudul “Memahami Kebenaran Yang Lain” yang ditulis oleh
Djaka Soetapa:
Bagaimana keselamatan yang dialami
dan terjadi dalam agama lain dapat dijelaskan dari perspektif Kristen? Setiap
agama relatif, setiap pribadi memaknai penyataan/revelasi Allah yang
mengkomunikasikan diri-Nya secara berbeda. Allah mengkomunikasikan diri-Nya
secara berbeda, pada konteks sosio-historis tertentu.[11]
Dari tulisan Djaka Soetapa ini,
terpapar jelas bahwa teologi yang ia anut adalah teologi universalis dan
pluralis. Ia sendiri mengakui bahwa keselamatan pada agama lain adalah benar
adanya dan juga merupakan penyataan dari Allah kepada setiap agama masing-masing.
Dan teologi ini sesungguhnya termasuk dalam teologi postmodern yang bersumber
dari filsafat postmodern.
Demikian juga dalam bukunya yang
berjudul “Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. Teologi Kristen dan Tantangan Dunia
Postmodern”, Emanuel Gerit Singgih menulis:
“Bagi Islam, Yesus nabi bagi Kristen
Tuhan, bagi kita masing-masing asumsi itu adalah kebenaran, dan kita tidak
bermaksud untuk menyatakan kita benar dan yang lain salah. Masing-masing memang
beda tapi kita belajar untuk mengerti dan menerima perbedaan”.[12]
Dampak dari para teolog Kristen di
Indonesia yang terus-menerus mendengungkan teologi agama-agama yang tekanannya
pada universalitas, maka warga Gereja di Indonesia perlahan namun pasti harus diakui mulai
terseret dalam situasi ini. Gereja mulai meninggalkan nilai-nilai radikal, dan
beralih kepada relativitas dalam segala aspek.
Inti dari teologi pada
era Postmodern menyangkal
kebenaran-kebenaran kunci iman Kristen. Oleh sebab itu sudah
menjadi kewajiban kita sebagai orang Kristen untuk memberikan argumentasi atau
sanggahan secara teologi terhadap ajaran-ajaran palsu tersebut.
TANGGAPAN
Jikalau tidak ada
standar yang absolut, tidak ada kebenaran dan segalanya relatif, maka akan menimbulkan kekacauan, kebebasan dalam melakukan kejahatan adalah sah karena tidak ada standar mutlak sebagai ukuran. Betapa
bahayanya akibat dari penolakan terhadap kebenaran absolut. Kalau tidak ada kebenaran
absolut, bahkan pemerintah sendiri tidak dapat atau tidak boleh memaksakan
peraturan pada masyarakat. Maka kekacauan
mutlak terjadi saat setiap orang melakukan apa yang benar dalam pandangan
mereka. Jikalau tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada standar benar atau salah
yang harus kita pertanggungjawabkan, kita tidak akan pernah pasti mengenai
apapun. Tidak akan ada pemerintah, tidak ada hukum,
dan tidak ada keadilan karena orang bahkan tidak bisa mengatakan bahwa
mayoritas berhak untuk membuat dan memaksakan hukum pada minoritas. Dunia tanpa
yang mutlak adalah dunia yang paling mengerikan.
Sumber:
[1]
Hali Daniel Lie, Abad Pertengahan,
Modernisme dan Posmodernisme. (Jurnal Teologi
Stulos 5, 2009), hal. 19.
[3] H.W.B. Sumakul, Posmodernitas,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 7.
[8] Ibid, hlm. 28.
[9] Joas
Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 27.
[10] Stevry Lumintang, Theologi Abu-abu Pluralisme Agama, (Malang:
Gandum Mas, 2009), hlm. 14.
[11] Djaka Soetapa, Memahami Kebenaran yang lain, (Malang: UKDW,
2010), hlm. 446.
[12] Emanuel Gerit Singgih, Menguak
Isolasi, Menjalin Relasi. Teologi Kristen dan Tantangan Dunia Postmodern, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar