Rabu, 16 September 2015

Teologi Agama-agama (Theology Of Religions) part 1

Teologi Agama-agama

Teologi Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology of Religions, dalam bahasa Latin Theologia Religionum) adalah matakuliah teologi yang membahas bagaimana kekeristenan memberi respon teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas agama di luar dirinya. Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang positif antar-agama dimungkinkan.
Di dalam teologi agama-agama, penilaian terhadap agama lain dari perspektif kekristenan tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi, semangat yang mendasarinya bukan semangat konfrontatif, melainkan justru bagaimana umat Kristen dan umat beragama lainnya dapat hidup bersama secara harmonis di dalam konteks kemajemukan agama.
Teologi agama-agama harus dimulai dengan upaya melihat agama yang lain di dalam terang iman Kristen. Pemahaman tersebut dapat tercapai melalui metode yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu metode menjalin persahabatan sehingga tercipta kerukunan umat beragama.

Berikut tokoh-tokoh Teologi Agama-agama di Indonesia:
1. Th. Sumartana
Sumartana  lahir 15 Oktober 1944 di desa Karangkobar. Banjar Negara, Jawa Tengah. S-1 STT Jakarta (1972), dan Studi Dialog Agama-agama di Geneva (1972-1973). S-3 (Ph.D) Misiologi dan Perbandingan Agama di Vrije Universiteit Amsterdam dengan disertasi Mission at the Cross Road.
Pluralisme bukan sekadar multiplikasi kepelbagaian, bukan hanya ekstensif, akan tetapi kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis, bentuk dan isinya berbeda dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau. Pluralisme masa lampau menuntut suatu respon kerukunan, koesksistensi, dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama di masyarakat. Corak kepelbagaian itu bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita baru mengalaminya; akan tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, akalu kita tidak mempedulikannya maka kita akan digilasnya.

Tantangan Pluralisme
a. Intern dan Ekstern
Respon Terhadap Tantangan Pluralisme
Pada tataran intern gerejawi, Theologia Religionum merupakan upaya untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-agama tersebut. Ini sebenarnya merupakan tugas esensial dari upaya setiap kelompok agama untuk membuat dirinya relevan dengan keadaan, dengan kata lain ia merupakan wujud dari apa yang selama ini disebut sebagai teologi kontekstual.
b. Persoalan Kebenaran
Kebenaran itu menjadi benang merah dari kehadiran agama-agama tersebut, ia tidak bisa diputuskan dan harus tetap terpelihara. Ia bukan merupakan tema yang baru akan dirumuskan, tetapi merupakan tema lama yang akan dirumuskan ulang dalam konteks yang baru.
                                 
Perumusan Theologia Religionum
a. Apresiasi Aktif
Suatu pemahaman yang sungguh-sungguh tentang makna pluralisme hanya bisa diselenggarakan dari dalam. Oleh sebab itu, tak bisa tidak, ia menuntut sebuah pendekatan teologis. Kita perlu memulainya dengan kesadaran tentang kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri kita sendiri dalam seluruh tradisi yang kita kenal selama ini guna merumuskan makna teologis dari agama-agama dan agama kita sendiri. Kita terpanggil untuk mengambil inisiatif untuk melakukan suatu "apresiasi aktif" terhadap agama-agama lain.
b. Titik Tolak Trinitas
Dalam rangka ajaran Kristen tentu kita akan segera bertemu dengan ajaran trinitaris, yaitu bagaimana kita mengungkapkan relevansi dari ajaran tentang Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus itu dalam menilai harga agama-agama non-kristen.

Soalnya adalah, bagaimana kita menafsirkan kristologi secara baru sehingga mampu memberi tempat kepada agama-agama? Secara umum bisa kita katakan, bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama seperti yang sekarang ini. Mungkin, di sinilah tepatnya kita mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah teologi agama-agama dan bukan kristologi agama-agama. Sebab, tekanan yang hendak kita berikan adalah universalitas itu.

Yang kita butuhkan adalah, bagaimana kita mengerjakan kristologi atau teologi atau pneumatologi, sehingga menjadi "christology of religions" atau "theology of religions" atau "pneumatology of religions". Apapun namanya, semua itu harus merupakan langkah apresiasi terhadap pluralisme agama-agama. Menciptakan ruang untuk menghargai agama lain untuk menghormati agama lain. Semuanya harus dilakukan untuk tidak mengulangi kesalahan dan indeferensi yang lama. Mungkin bagi pemikir teologi Kristen, cukup untuk mengatakan bahwa theologia religionum yang baik dan memadai adalah yang bercorak trinitaris.

c. Soteriologi

Di sini kita bergumul dengan kemungkinan untuk menerobos bentuk-bentuk teologi dan kristologi yang kaku dan memberikan ruang yang bebas dan positif untuk mengakui kehadiran dan nilai agama-agama itu dalam pemahaman soteriologi kita. Dan pemikiran kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan dengan soal soteriologi ini. Mungkin, jikalau pneumatologi ini sudah kita kaitkan dengan soteriologi, maka kristologi dan teologi akan bisa diatasi dengan baik. Sehingga, kita tidak berbicara tentang teologi atau kristologi agama-agama, melainkan pneumatologi agama-agama, di mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan.


Soal dogmatis dan kebenaran bukan tidak penting, tetapi justru sebaliknya, yang hendak dituju adalah ungkapan praksis dari hubungan antaragama itu.

Kebenaran telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging. Antara creed dan deed antara doktrin dan tingkah laku, antara teori dan praksis, antara iman dan buah-buahnya, antara ortodoksi dan ortopraksis, telah dipersatukan. Demikian juga perlu dipikirkan untuk menciptakan suatu pemikiran yang lebih utuh tentang hubungan antara wahyu (revelation) di satu pihak dengan soteriologi di pihak lain. Pengabsahan akan berlakunya pernyataan Tuhan (revelation) akan memberikan implikasi yang positip pula kepada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama.


d. "Self Understanding"

Ia berfungsi ke dalam umatnya sendiri, dan berfungsi sebagai jembatan untuk melangkah keluar yang menghubungkan umat sesuatu agama dengan umat beragama lain yang punya tradisi pemikiran keagamaan yang berbeda. Ia melakukan penyempurnaan dan koreksi terhadap stereotip yang lama yang cenderung menciptakan konflik yang sia-sia.


Tantangan Peradaban, Respons Gerejawi

Konsentrasi kita memang pada pluralisme. Kita diperhadapkan dengan soal keperbedaan, kemungkinan lain serta alternatif yang lain yang ditawarkan begitu banyak. Dan kita harus memberi respon yang memadai. Kita bukan hanya akan mengubah, tetapi juga diubah oleh perubahan yang sedang terjadi. Dan, ini merupakan tantangan kita untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kedatangan milenium yang ketiga itu.
a. Tantangan Milenium Ketiga

1. Yaitu masa intoleransi dan masa inkuisisi (persecution/penganiayaan) yang amat panjang dan amat "sadis" dalam sejarah kemanusiaan.

Ada banyak kematian yang terjadi, akan tetapi terutama "theological killing" menjadi corak utama dari ribuan tahun yang kedua dari sejarah manusia beragama.

2. Dalam milenium ketiga kita menghadapi sesuatu yang lain, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kita tetap menjaga identitas kita tanpa meremehkan, dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain.
Sebagai contoh, sinode Dutch Reformed Church di Belanda masih memuat dalam keputusan sinodenya tahun 1986 yang mengatakan "agama Islam adalah agama sesat (palsu) dan berbahaya mengancam secara serius terhadap kekristenan dan kemanusiaan".

b. Tantangan Eksklusifisme (Barth, Kraemer)
Tokoh-tokoh lama seperti Barth dan Kraemer, dan memberikan suatu pijakan pemikiran yang yelas-jelas dalam pemikiran teologi Kraemer, kristologinya merupakan suatu "bentuk imperialisme keagamaan" (fasilitas agama). Yang menunjukkan arogansi dan sikap yang sangat partikularistis, dan hal itu dengan efektif ditembus oleh orang seperti Smith dan John Hick yang mengatakan bahwa ada suatu "revolusi berpikir" dalam masyarakat pluralistis ini, yaitu dari "geosentrisme" (baca: kristosentrisme) kepada "heliosentrisme" (baca: theosentrisme). Paradigmanya berubah dari eksklusivisme ke arah pluralisme.

Kristologi semacam itu tidak bisa lagi dipakai untuk menilai secara positif agama-agama lain. Upaya mencari kebenaran menjadi upaya penghakiman agama yang memutuskan hubungan. Smith menunjuk, bahwa yang penting adalah keimanan kepada Tuhan, dan bukan kepada Kristus yang juga beriman kepada Tuhan. Jadi sumbangan pemikiran teologi Smith saya kira secara efektif telah mampu mengoreksi kelemahan dan keterbatasan dari teologi krisis atau neo-orthodoksi, atau teologi dialektisnya Barth dan Kraemer.

Semua itu dikemukakan oleh antara lain George Chemparaty dalam artikelnya "Dialectical Theology and Non-Christian religions", kritik yang tajam kepada teologi dialektik yang bercorak negatip terhadap agama lain, berdasarkan kristosentrisme yang berlebihan. Kita harus mencari kemungkinan lain, kemungkinan yang berbeda dari posisi seperti itu. Pandangan tersebut, sekarang ini berinkarnasi pada fundamentalisme Kristen yang muncul dalam bentuknya yang lebih buruk dan lebih dangkal, yang menilai agama-agama hanya sebagai "anak-anak setan" yang menuju neraka. Karena itu, tak ada pengertian kontinuitas dan tak ada "point of contact" antara agama Kristen dan agama-agama non-Kristen.

Pandangan tentang wahyu juga memberikan pemahaman yang amat sempit mengenai soteriologi, dan cenderung terperangkap dalam mentalitas ghetto dalam kehidupan agama. Oleh sebab itu, pada hemat saya teologi dialektik harus ditolak sebagai pilihan yang tidak relevan dengan tatanan dunia plural sekarang, dan harus diganti dengan sesuatu yang baru, yang lebih berakar kepada pergumulan mengenai pluralisme agama.

Teologi krisis berhadapan dengan masalah totalitarianisme ideologi naziisme. Dan mengaplikasikannya kepada dunia agama-agama, dan dengan semboyan: "sola fide et solo christo". Dan anehnya, semua itu dilakukan tanpa pengetahuan secukupnya tentang agama-agama non-Kristen. Sehingga, terjadi ketimpangan yang mencolok dalam memahami agama-agama tersebut. Konteks dari teologi krisis tidak relevan lagi untuk diterapkan pada situasi yang sekarang, di mana prinsip emansipasi justru menempatkan semua kelompok masyarakat untuk mengambil bagian dalam pergaulan yang beradab dari umat manusia.

c. Tantangan Pluralisme Ekumenis
Dan eksklusifisme dalam kekristenan ini hendak dipecahkan dengan metode yang sama dengan cara menghadapi pluralisme yang ekstern, yaitu dengan mengembangkan dialog dan kerja sama antardenominasi. Dan eksklusifisme dianggap sebagai sesuatu yang immoral, dan merupakan ilusi dan heretic dalam arti yang sesungguhnya.

Dialog dan Kolaborasi Antaragama

Dengan theologia religionum dan dengan dialog akan dapat diciptakan jembatan untuk menciptakan dasar bagi kolaborasi antaragama.

a. Dialog Antaragama
Tetapi, tentu yang menjadi fokus utama adalah menyangkut aktivitas di mana distorsi dari persepsi keagamaan yang ada di masing-masing pihak pada instansi pertama harus diluruskan dan dijernihkan.

Dengan begitu, sebenarnya sebuah langkah dialog pada instansi pertama adalah sebuah langkah korektif terhadap distorsi tersebut.

b. Kolaborasi Antaragama
Bukan doktrin yang mencakup semua agama, akan tetapi pada tingkat etika kita bisa mengajukan proposal bersama dari kerja sama antaragama.

Sehingga, keperbedaan tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan.



Theologia Religionum dan Agama Transformatif

Dalam bentuk semacam itu maka agama akan menjadi agama transformatif yang bisa memberikan ilham bagi semua orang. Memberikan harapan, moral yang tinggi dan kesadaran yang mendalam kepada warga masyarakat. Di situ, agama menjadi agama yang mempunyai kekuatan transformatif dan kreatif bagi masyarakat. Ini merupakan bagian inti profetik agama-agama menjadi potensi agama-agama mampu tampil bersama-sama selaku pemberi alternatif dan selaku penerang bagi masalah kemanusiaan sekarang ini.

Yang dibutuhkan bukan pandangan eksplisit saja, akan tetapi juga aplikasi dari doktrin keagamaan dalam kenyataan kontemporer sekarang ini. Penjabaran dari doktrin keagamaan dalam praksis politik, ekonomi dan kebudayaan dan segenap bidang hidup itulah yang akan memberikan corak transformatif dari kehadiran agama.


Teologi tidak bisa dirumuskan sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi penghalang untuk menghargai iman orang lain. Pernyataan negatif dan yang sudah menyatu dengan seluruh sistem dogmatik kita yang bercorak polemis-apologetis. Baik yang termuat dalam kitab-kitab pelajaran agama, dalam kidung-kidung pujian, dalam liturgi, maupun dalam ajaran-ajaran gerejawi yang memberikan keterangan negatif tentang iman kepercayaan orang lain. Yang pada dasarnya memang merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama yang lain, atau yang dianggap suci oleh agama lain. Dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang, hal tersebut telah menyerang kehormatan dan integritas orang lain.

Kesimpulan

Dengan kata lain, upaya untuk merumuskan theologia religionum menjadi identik dengan upaya pembaruan teologi itu sendiri, yang tentu nanti ada implikasi dalam seluruh kehidupan gereja. Pembaruan teologi adalah identik dengan upaya theologia religionum karena konteks yang paling menantang dari kehadiran Kristen adalah konteks dari pluralisme dan pertemuan antaragama . Theologia religionum merupakan "ujung tombak" dari pembaruan gereja dan agama di masa sekarang ini.

Di mana pemeluk agama yang satu menerima pemeluk agama yang lain selaku bagian dari kehidupan masyarakat yang sama-sama beriman kepada Tuhan yang Maha Esa.
Dalam menyambut hal ini. Eka Darmaputera berpendapat bahwa sesungguhnyalah, pemikiran baru mengenai Theologia Religionum ini akan mempunyai konsekuensi terhadap seluruh bangunan teologi kita: antropologi, kosmologi, soteriologi, kristologi, misiologi, ekklesiologi, ya semuanya! Dan itu memang dibuktikan oleh Th. Sumartana sebagai berikut:
Sekarang ini dibutuhkan teologia agama-agama (Theologia Religionum) adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan. Kenapa? Ada empat jawabnya: pertama, apresiasi Aktif: kita perlu memulai dengan kesadaran tentang kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri kita dalam seluruh tradisi yang kita kenal selama ini guna merumuskan makna teologis dari agama-agama dan agama kita sendiri. Kedua, titik tolak Trinitas: didasarkan pada totalitas ajaran keimanan Kristen. Meletakkan tekanan yang besar pada aspek universal, tanpa melupakan segi-segi keunikannya. Kata lain, keunikan agama tidak disanggah, akan tetapi ia dilihat dalam perspektif universalnya - ajaran mengenai universal agamanya. Trinitas - Tuhan Bapa, Anak, dan Tuhan Roh Kudus. Dalam teologi agama-agama, sementara kita sisihkan dulu Roh Kudus. Kristologi tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme. Di sini kita butuh teologi pluralisme bukan kristologi. Ketiga, soteriologi: keselamatan ada pada agama-agama. Kita tidak berbicara tentang teologi atau kristologi agama-agama, tetapi pneumatologi agama-agama, di mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku kehadiran. Roh yang menyelamatkan. Keempat, self understanding, teologi agama-agama terbuka untuk semua agama. Semua agama perlu membuat versi theologia religionum sendiri yang terbuka dan positif.

2. Ioanes Rakhmat
Ioanes Rakhmat lahir 13 Mei 1959, pendeta Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, dosen bidang PB dan Bahasa Yunani di STT Jakarta. Mulai tahun 1992 menempuh S-2 di STT Jakarta. Anggota Komisi Teologi BPK Gunung Mulia. Kini, ia sedang studi S-3 di Kampen, Belanda.

Ioanes banyak terpengaruh oleh konsep Knitter. Ia banyak mengembangkan dasar pemikiran Knitter. Contohnya Ioanes setuju dengan pendapat Knitter bahwa pluralistik - yang disebut model teosentris atau liberal:
Semua agama mempunyai nilai yang sama. Tidak ada satu agama pun yang memuat seluruh pernyataan Allah atau Ilahi. Semua agama ambil bagian dalam keterbatasan manusiawi. Ada banyak jalan menuju keselamatan. Kita semestinya membuka diri dalam dialog untuk sesama manusia. Tidak mungkin mencari kebenaran dan tidak mungkin mengenal diri atau agama diri sendiri, kecuali jika mengenal agama sesama manusia juga. Bisa berbicara tentang keunikan Yesus Kristus, tetapi keunikan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang relatif: sama seperti isteri bersifat unik buat suami, sama seperti Buddha bersifat unik buat seorang Budhist, begitu juga Kristus bersifat unik buat mereka yang percaya kepada-Nya.
Wujud sosial historis tanggapan manusia ini berupa agama-agama dan kitab-kitab suci. Lebih lanjut dikatakan:
Apa bentuk sarana penerimaan dan penyampaian firman Allah di luar Alkitab ini? Bisa bermacam-macam. Selain sarana tulisan yang berupa kitab-kitab suci keagamaan, bisa juga sarana-sarana lainnya. Bisa berupa alam ciptaan dan segala sesuatu yang berlangsung di dalamnya. Bisa berupa hati nurani. Bisa berupa tradisi-tradisi suci keagamaan lain. Dan, taat asas dengan itu, bisa melalui nabi-nabi dan tokoh-tokoh keagamaan lain yang pernah dan akan lahir di dunia ini, yang memulai tradisi-tradisi keagamaan dunia ini dengan memberitakan keakbaran dan rahmat Allah. Dan, jangan dilupakan, bisa melalui ilmu pengetahuan yang juga merupakan bentuk kasih karunia dan kiprah penyelenggaraan Allah kepada manusia untuk memelihara dan mempertahankan ciptaan-Nya, manusia dan alam semesta.
Bagi Ioanes bahwa apapun jenis tulisan dalam Alkitab, semua kitab di dalamnya hanya punya satu kebenaran, yaitu kebenaran pewahyuan dari Allah sendiri, sebagai kitab yang "dinafasi oleh Allah" sendiri adalah sesuatu yang menyesatkan. Karena, meskipun diakui bahwa yang menulis Alkitab itu manusia di dalam dunia dan kebudayaannya, tetapi sama sekali manusia, dunia dan kebudayaannya itu tidak mempengaruhi isi wahyu Allah yang diterimanya.
Ioanes sependapat dengan Panikkar bahwa kalau kita mempertahankan Kristus Yesus sebagai "Kebenaran akhir" dan tidaklah dapat digantikan dengan totalitas kebenaran atau pendapat-pendapat yang menjiwai agama-agama lain, timbul persoalan, maka dialog diperlukan sekali. Tanpa dialog, kekristenan hanya akan menjadi semacam "ideologi" bagi sekelompok eksklusif orang-orang yang menamakan dirinya sebagai orang Kristen.
Jadi, bagi Ioanes, berteologi adalah tidak bisa dilakukan oleh gereja sendiri. Karena krisis keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dewasa ini adalah masalah, tantangan dan ancaman sejagat, maka dalam rangka gereja berteologi, ia harus berteologi secara oikumenis dan dalam dialog dengan segenap orang yang mencari dan melaksanakan kehendak Allah, dan yang menaruh keprihatinan yang sama atas permasalahan, penderitaan dan keterhilangan dunia ini. Memikul panggilan ini membuat gereja harus memahami ulang siapa dirinya di tengah pluralitas keagamaan dalam dunia masa kini. Parokhialisme dan institusionalisme gereja sebagai yang Allah harus digantikan oleh oikumenisme dan universalisme. "Umat Perjanjian yang membawa terang bagi bangsa-bangsa" harus sudah dipahami dengan lebih terbuka dan inklusif. "Umat Perjanjian" di sini tidak monolitik. 



Referensi
1.      Th. Sumartana. 2007. "Theologia Religionum". Di dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Tim Balitbang PGI (Eds.). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2.      Mariasusai Dhavamony. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
3.      Michael S. Northcott. 2002. 'Pendekatan Sosiologis'. Di dalam Aneka Pendekatan Studi Agama. Peter Connely (ed.) Yogyakarta: LKIS.
4.      Rob Fisher. 2002. "Pendekatan Filosofis".Di dalam Aneka Pendekatan Studi Agama. Peter Connely (ed.) Yogyakarta: LKIS.
5.      B.J. Banawiratma. 2007. "Mengembangkan Teologi Agama-Agama".Di dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Tim Balitbang PGI (Eds.). Jakarta: BPK Gunung Mulia.

7 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Syalom Pak, selamat malam....
    saya tidak setuju dengan pendapat Ioanes yang sependapat dengan Panikkar yang mengatakan bahwa kalau kita mempertahankan Kristus Yesus sebagai "Kebenaran akhir" dan tidaklah dapat digantikan dengan totalitas kebenaran atau pendapat-pendapat yang menjiwai agama-agama lain, timbul persoalan, maka dialog diperlukan sekali. Tanpa dialog, kekristenan hanya akan menjadi semacam "ideologi" bagi sekelompok eksklusif orang-orang yang menamakan dirinya sebagai orang Kristen.
    saya tidak setuju. karena, menurut saya dialog yang akan dilakukan untuk mempertahankan kepercayaan kita kepada Yesus kristus sebagai kebenaran yang akhir akan menciptakan sebuah masalah yang baru. karena, setiap masing-masing agama memiliki dasar kepercayaan mengenai kebenaran dalam agama masing-masing. Dan Dialog ini hanya akan membuang waktu dan tidak akan pernah memiliki titik temu. Menurut saya kepercayaan kita terhadap Yesus Kristus sebagai Kebenaran yang Akhir itu tidak perlu di dialogkan dengan agama lain. karena dengan dialog tersebut seolah-olah kita membela kepercayaan kita terhadap Kebenaran Yesus Kristus. Kebenaran itu tidak perlu dibela karena kebenaran itu bersifat mutlak dan Kebenaran itu tidak dapat dikompromikan, serta tidak dapat di selami dengan logika pikiran manusia tanpa adanya anugerah Tuhan melalui Roh Kudus yang membuat kita mengerti akan kebenaran itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut Ionaes Rakhmat "Semua agama mempunyai nilai yang sama. Tidak ada satu agama pun yang memuat seluruh pernyataan Allah atau Ilahi. Semua agama ambil bagian dalam keterbatasan manusiawi. Ada banyak jalan menuju keselamatan. Kita semestinya membuka diri dalam dialog untuk sesama manusia. Tidak mungkin mencari kebenaran dan tidak mungkin mengenal diri atau agama diri sendiri, kecuali jika mengenal agama sesama manusia juga. Bisa berbicara tentang keunikan Yesus Kristus, tetapi keunikan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang relatif: sama seperti isteri bersifat unik buat suami, sama seperti Buddha bersifat unik buat seorang Budhist, begitu juga Kristus bersifat unik buat mereka yang percaya kepada-Nya"
      1. setiap agama tidak mempunyai nilai yang sama. adagama punya cara tersendiri dan nila yang berbeda dgn yang lain.
      2. penyataan yang di berikan oleh Allah ialah Alkitab dan Yesus Kristus. ini merupakan penyataan yang absolut dan mutlak.
      3. jalan keselamtan hanya melalui Yesus Kristus dalam Yoh 14:6 bahwa Yesus adalah satu- satunya jalan kebenaran dan hidup. artinya keselamatan hanya melalui Yesus Kristus.
      4. membuka dialog merupakan yang baik dan cukup bagus, namun didalam dialog tersebut jangan dijadikan tempat untuk menjatuhkan, merendahkan dan meremehkan gereja atau agama-agam yang ada.
      5. setipa orang harus mencari kebenaran, didalam kebenaran untuk mendapatkan kebenaran.
      Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat. dia adalah 100 % Allah dan 100 % manusia. sekalipun dalam kebenaradaannya sebagai manusia, bukan berarti kedudukan dan keberadaan Yesus Kristus disamakan seperti istri kepada suami. ini keterlaluan. masak Yesus sama uniknya disamakan kyak istri.
      intinya bahwa nila kekristenan berbeda dan Yesus adalah Tuhan, hanya melalui Dia segala sesuatu apapun yang kita kerjakan dan lakukan. biarlah segala horma dan kemuliaan hanya bagi Tuhan. Soli Deo Gloria. amin.

      Hapus
    2. Tuty...
      Ya benar setiap agama pasti berbeda dan tidak mau disamakan. Demikian jg keselamatan di dlm iman Kristen tidak dapat disamakan dgn ajaran manapun. Dialog boleh saja, namun tetap mempertahankan esensi Iman Kristen. Dialog hanya boleh dilakukan dlm rangka tujuan menghargai satu sama lain, menghormati penganut agama lain. GBU

      Hapus
  3. Juniarman...

    Betul, dialog antar agama yang mencoba mencari titik temu ajaran agama-agama tidak akan menghasilkan apa-apa, justru merugikan pihak Kristen. Karena para tokoh teologi agama-agama dari dalam Kristen justru membuat format "teologi yang baru" yang mengakibatkan teologi permisif (kompromi). Menurut saya Dialog antar agama sah-sah saja tapi dialog dilakukan bukan dalam rangka mencari titik temu ajaran tiap-tiap agama, karena hal itu mustahil! Dialog yang harus dilakukan adalah untuk meningkatkan toleransi/tenggang rasa dan saling menghormati. GBU

    BalasHapus
  4. b. Titik Tolak Trinitas
    Dalam rangka ajaran Kristen tentu kita akan segera bertemu dengan ajaran trinitaris, yaitu bagaimana kita mengungkapkan relevansi dari ajaran tentang Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus itu dalam menilai harga agama-agama non-kristen.

    Soalnya adalah, bagaimana kita menafsirkan kristologi secara baru sehingga mampu memberi tempat kepada agama-agama? Secara umum bisa kita katakan, bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama seperti yang sekarang ini. Mungkin, di sinilah tepatnya kita mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah teologi agama-agama dan bukan kristologi agama-agama. Sebab, tekanan yang hendak kita berikan adalah universalitas itu.
    berangkat dari pemahaman Sumartana di atas, saya berpikir dari sisi kemajemukan hidup bermasyarakat, baik di Indonesia maupun ke seluruh dunia. Saya menyadari pemikiran beliau yang hendak ikut serta menempatkan sikap hidup ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Namun, menyembunyikan Kristus dalam keseharian hidup menjadi sesuatu yang hanya membuat umat percaya tidak bersaksi lagi. Dengan membiarkan hal tersebut, ini memang mungkin saja tidak bermasalah bagi generasi Sumartana, namun akan berdamak pada generasi-generasi yang selanjutnya. Yaitu dapat membuat umat Kristen tidak lagi menginjili karena merasa semuanya ada benarnya, sehingga perintah Kristus untuk memberitakannya pun tidak tersampaikan lagi.

    selain itu pendapat Sumartana yaitu mengenai Pernyataan negatif dan yang sudah menyatu dengan seluruh sistem dogmatik kita yang bercorak polemis-apologetis. Baik yang termuat dalam kitab-kitab pelajaran agama, dalam kidung-kidung pujian, dalam liturgi, maupun dalam ajaran-ajaran gerejawi yang memberikan keterangan negatif tentang iman kepercayaan orang lain. Yang pada dasarnya memang merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama yang lain, atau yang dianggap suci oleh agama lain. Dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang, hal tersebut telah menyerang kehormatan dan integritas orang lain.
    menurut saya, Deklarasi kebenaran yang telah tercatat lengkap di Alkitab bukan berarti menghina ataupun menyerang kehormatan dan Integritas orang lain. Berbicara Kebenaran, ialah bukan karena Kebenaran tidak menyenangkan hati orang lain maka itu menjadi sesuatu yang salah, karena Kebenaran esensinya pada kebenaran itu sendiri. kebenaran tidak di tentukan orang setuju atau tidak, karena Kebenaran Alkitab bersifat Absolut. Jadi, penyataan iman bukan berarti kita menghina, karena Prinsip kekristenan sendiri ialah Kasih. Saya rasa ini adalah sikap dari Sumartana yang terlalu mengasihi semua orang namun agak lupa bahwa agama Islam, Hindu< Budha dll juga menyatakan bahwa yg dianutnya benar. Lalu apa bedanya ???

    BalasHapus
  5. Lety..
    Ya tentu pendapat Sumartana tsb akan membawa dampak bahaya besar bagi org yg mempercayai/mengikuti pemahamannya. Injil yg absolut diganti dgn relativisme. Kemutlakan keselamatan di dlm Yesus direlatifkan. Pengikut Sumartana masa kini sdh banyak dan meski kita waspadai sebab ajaran ini adalah Liberal dan melawan Alkitab. GBU

    BalasHapus