Rabu, 21 Oktober 2015

Theology of Religons Part 2



Tokoh Teologi Agama-agama Eropa

1. Alan Race
Di dalam studi teologi agama-agama, Race dikenal sebagai teolog yang pertama kali memopulerkan penggunaan tipologi tripolar eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme. Tipologi tersebut digunakan sebagai standar di dalam studi teologi agama-agama, dan hingga kini masih banyak digunakan di dalam diskursus teologi agama-agama. Dengan demikian, buku "Orang-orang Kristen dan Pluralisme Religius" (Christians and Religious Pluralism) yang ditulisnya pada tahun 1983 menjadi salah satu literatur klasik di dalam studi teologi agama-agama Kristen.
Di dalam buku tersebut, Race menggunakan tipologi untuk memetakan beragam pendekatan para teolog dan non-teolog Kristen mengenai relasi kekristenan dengan agama-agama lain. Race memasukkan pendekatan-pendekatan yang ada ke dalam tiga kategori, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pembagian posisi para teolog dan non-teolog ke dalam tiga kategori tersebut didasarkan pada kesamaan dan perbedaan cara pandang mereka terhadap agama-agama non-Kristen. Race mengakui di dalam bukunya bahwa tipologi tersebut bukanlah pemikiran asli miliknya, melainkan berasal dari Carl F. Hallencreutz dan Eric J. Sharpe. Akan tetapi, di dalam studi teologi agama-agama Kristen, nama Alan Race yang dikenal sebagai promotor awal tipologi tersebut. Kendati penggunaan tipologi Race telah banyak mendapatkan kritik dan tidak lagi memadai untuk memetakan persoalan teologi agama-agama masa kini, namun tipologi tersebut tetap berperan sebagai pendekatan yang menggerakkan diskursus teologi agama-agama hingga akhir tahun 1990-an.
                                                                
Tipologi Alan Race
Eksklusivisme
Posisi eksklusivisme adalah posisi yang menempatkan kekristenan sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran sebab berlandaskan penyataan Allah melalui Yesus Kristus. Di sini kekristenan menjadi satu-satunya pemilik kebenaran sehingga agama-agama lain dihilangkan dari kriteria agama yang benar. Menurut Alan Race dua teolog yang berpijak di posisi ini adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer.
Inklusivisme
Inklusivisme dilihat sebagai sebuah posisi yang menerima sekaligus menolak agama-agama lain. Di satu sisi, kekuatan spiritual dan kedalaman religius dari agama-agama di luar kekristenan diterima dan diakui, sehingga dapat dikatakan bahwa yang ilahi hadir di dalam agama tersebut. Di sisi lain, agama-agama di luar kekristenan ditolak karena dinilai tidak memiliki “cukup kebenaran” yang hanya dimungkinkan secara penuh lewat Yesus Kristus.[5] Teolog yang amat terkenal dengan posisi ini adalah Karl Rahner dengan konsepnya tentang Kristen Anonim.

Pluralisme
Posisi ini menyatakan bahwa tidak ada agama yang memiliki pengetahuan akan Allah secara sempurna, termasuk kekristenan. Dengan demikian, superioritas kekristenan dipandang tidak relevan, sebab kebenaran Ilahi tidak hanya dimiliki oleh kekristenan saja, melainkan setiap agama dipandang memiliki kemungkinan keterarahan religius yang sama. Pluralisme adalah posisi yang dianut oleh Race. Ia menilai posisi inilah yang relevan bagi masa kini untuk menghargai kemajemukan agama. Ada banyak teolog dan non-teolog yang berpijak pada posisi ini, seperti Wilfred Cantwell Smith, Ernst Troeltsh, W.E. Hocking, Arnold Toynbee, dan John Hick.

Eksklusivisme
Eksklusivisme adalah salah satu cara pandang kekristenan terhadap agama-agama non-Kristen. Pendekatan eksklusivisme merupakan salah satu pendekatan di dalam studi teologi agama-agama. Pendekatan eksklusivisme menyatakan bahwa agama Kristen merupakan satu-satunya jalan keselamatan. Ada beberapa aliran di dalam pendekatan ini.
Karl Barth
Karl Barth adalah seorang ahli teologi berkebangsaan Swiss yang mengkritisi akan doktrin kekristenan.Ia menekankan kekudusan Allah dan manusia adalah yang sangat berdosa dan Yesus lah Juru Selamat.Menurut Barth agama-agama adalah ketidakpercayaan,karena menolak pernyataan diri Allah dalam Yesus Kristus.
Hendrik Kraemer
Hendrik Kraemer mempunyai pandangan bahwa setiap orang yang belum mengenal dan diperbaharui dalam Yesus, ia tidak akan pernah mengenal Allah yang sesungguhnya.Maka menurutnya orang di luar kekristenan tidak ada keselamatan.

Inklusivisme
Inklusivisme merupakan satu dari tiga tipologi yang dikemukakan Alan Race dalam diskursus teologi agama-agama. adalah sikap atau pandangan yang melihat bahwa agama-agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari Allah dan bisa diselamatkan, namun pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Kristus hadir dan berkeja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus secara pribadi. Dalam pandangan ini, orang-orang dari agama lain, melalui anugerah atau rahmat Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah. Inklusivisme terbagi dalam dua model, yakni model In Spite of dan model By Means of.
Model In Spite of, walaupun melihat institusi agama lain sebagai hambatan untuk menerima keselamatan, tidak menolak bahwa ada kemungkinan bahwa orang-orang yang beragama lain dapat diselamatkan oleh anugerah atau rahmat dari Allah. Sementara itu model By Means of bersikap lebih positif terhadap agama lain. Model ini melihat bahwa Allah juga memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama lain tersebut. Karena rahmat dan kehadiran Kristus di dalam diri dan mealalui agama-agama lain, maka orang-orang beragama lain itu juga terorientasi ke dalam gereja Kristen, dan disebut sebagai "Kristen Anonim". Pandangan ini dikemukakan oleh Karl Rahner.


2. Paul F. Knitter

Lahir di Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1939. Seorang teolog Katolik Roma yang berperan dalam mengembangkan diskursus teologi agama-agama. Ia dikenal sebagai salah seorang pendukung posisi pluralisme bersama dengan para teolog lain, seperti Alan Race dan John Hick. Knitter juga merupakan pegiat dialog antar-iman.
Pada tahun 1985, Knitter menerbitkan buku berjudul No Other Name? yang merupakan pemetaan terhadap pemikiran-pemikiran Kristen yang berkembang saat itu mengenai agama-agama lain. Pendekatan Knitter, baik metode, fokus, serta kesimpulan dari buku tersebut memiliki banyak kemiripan dengan buku Alan Race yang dipandang sebagai awal dari diskursus teologi agama-agama. Bedanya, jika Race menggagas tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, Knitter menyebut ada empat model dalam tipologinya. Keempat model tersebut adalah:
  1. Model Konservatif-Injili, di mana hanya ada satu agama yang benar yakni agama Kristen. Menurut Knitter, salah seorang pendukung model ini adalah Karl Barth.
  2. Model Protestan Arus-Utama, yang memandang bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus. Pendekatan-pendekatan yang termasuk di dalam model ini menyatakan bahwa penyataan Allah memang dapat ditemukan di banyak agama, namun keselamatan hanya ada dalam Kristus. Beberapa teolog yang dimasukkan oleh Knitter ke dalam model ini adalah Paul Althaus, Emil Brunner, dan Wolfhart Pannenberg.
  3. Model Katolik, yang menyatakan bahwa ada banyak jalan menuju Allah tetapi Kristus berfungsi secara normatif atau menentukan di dalam kepelbagaian jalan tersebut.  Knitter menyebutkan Hans Kung dan Karl Rahner sebagai contoh pemikir model ini.
  4. Model Teosentris, yang mana merupakan posisi yang dianut Knitter sendiri. Model teosentris percaya bahwa ada banyak jalan menuju pusat yang satu, yaitu Allah sendiri. Dengan demikian, peran agama-agama non-Kristen sebagai jalan keselamatan diafirmasi oleh pendukung dari model ini. Selain Knitter, beberapa teolog lain yang diposisikan di dalam model ini adalah John Hick, Raimundo Panikkar, dan Stanley Samartha.
Posisi Knitter di dalam buku ini, yakni posisi teosentris, memiliki kesejajaran dengan model pluralisme yang dianut oleh Alan Race. Selain menegaskan posisinya, Knitter juga menganjurkan perlunya penafsiran ulang atas doktrin keunikan Yesus. Menurutnya, selama ini kekristenan merasa superior terhadap agama-agama lain karena doktrin tersebut. Untuk itu, supaya dapat terwujud dialog antar-iman maka doktrin tersebut perlu ditinjau kembali.

Knitter dan Posisi Soteriosentrisme

Di dalam buku selanjutnya, 'Satu Bumi Banyak Agama', Knitter menyatakan bahwa tipologi yang ia gunakan pada buku sebelumnya kurang tepat. Menurutnya, tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme yang diajukan Alan Race lebih tepat. Knitter sebelumnya menyatakan bahwa dirinya menganut posisi pluralisme yang menyatakan bahwa agama-agama merupakan jalan-jalan yang berbeda menuju satu tujuan, yang dalam bahasa Kristen disebut Allah.[2] Akan tetapi, Knitter menyatakan bahwa dirinya telah melampaui posisi pluralisme yang teosentris yang dianut sebelumnya, yakni dengan posisi soteriosentrisme.

Definisi

Soteriosentrisme berasal dari kata bahasa Yunani soter yang berarti keselamatan. Dengan demikian, soteriosentris secara etimologis berarti 'berpusat pada keselamatan'. Jikalau pendekatan pluralisme menjadikan Satu Realitas Ilahi (disebut The Real oleh John Hick) atau Tuhan dalam bahasa agama Abrahamik, maka soteriosentrisme menjadikan konteks penderitaan umat manusia dan penderitaan alam (krisis ekologis) sebagai pusat. Penderitaan yang dialami umat manusia dan kerusakan alam haruslah menjadi fokus perhatian dan sasaran dari agama-agama yang ada. Manusia dan alam yang menderita perlu mendapatkan keselamatan yakni terbebas dari derita yang mereka alami. Di sini, paham keselamatan dalam kekristenan diberikan pemaknaan baru oleh Knitter.
Dengan demikian, Knitter mengkritik pendekatan pluralisme yang langsung menyatakan bahwa agama-agama adalah jalan menuju Tuhan. Menurut Knitter, agama-agama yang ada di dunia perlu dinilai kebenarannya melalui kriteria soteriosentris tersebut, yakni seberapa besar agama-agama mau berfokus dan berjuang bagi keselamatan umat manusia dan bumi yang sedang menderita. Knitter melihat bahwa kekristenan akan mengalami perkembangan yang evolutif, yakni dari eklesiosentrisme (berpusat pada gereja), melalui kristosentrisme (berpusat pada Kristus), hingga ke teosentrisme (berpusat pada Allah), dan selanjutnya adalah soteriosentrisme.
Posisi soteriosentris tersebut dianut oleh Knitter setelah ia dipengaruhi Teologi Pembebasan Amerika Latin. Teologi Pembebasan berfokus pada pembebasan manusia-manusia yang tertindas dari para penindasnya maupun situasi yang menekan, khususnya kemiskinan struktural. Minat Knitter terhadap Teologi Pembebasan sudah terlihat dari tulisan sebelumnya di dalam buku 'Mitos Keunikan Agama Kristen'.

Dampak kepada Dialog Antar-Iman

Asumsi teologis ini berdampak terhadap pemaknaan dialog antar-iman. Knitter menyatakan bahwa dialog antar-iman yang terjadi haruslah bertanggung-jawab secara global. Arti dialog harus mendorong praksis bersama agama-agama untuk menghadapi adanya tantangan bersama berupa penderitaan konkret umat manusia dan kerusakan ekologi yang semakin bertambah. Hal tersebut mestinya menjadi konteks bersama dari semua agama yang ada di dunia sekaligus menjadi titik temu dari semua agama.

Penafsiran Ulang terhadap Sosok Yesus

Untuk mendukung model soteriosentris yang diusulkannya, Knitter menyusun penafsiran ulang atas sosok Yesus dan pengaruhnya terhadap misi Kristen. Usaha ini ditunjukkan di dalam buku lainnya, 'Menggugat Arogansi Kekristenan', yang terbit segera setelah buku 'Satu Bumi Banyak Agama'. Di dalam buku ini, Yesus dipandang sebagai tokoh yang unik dan menentukan, namun bukan satu-satunya penyataan Allah. Keunikan Yesus adalah keunikan relasional dengan visi Kerajaan Allah yang memberitakan tentang pembebasan terhadap manusia yang menderita dan tertindas.

Pemetaan Baru terhadap Teologi Agama-Agama

Beberapa tahun kemudian, yakni tahun 2002, Knitter menerbitkan sebuah buku yang berisi pemetaan baru terhadap pendekatan-pendekatan di dalam diskursus teologi agama-agama. Di sini, Knitter tidak lagi menggunakan tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme sebagaimana disarankan oleh Alan Race, melainkan memaknai ulang model-model tersebut dan menambah satu model lagi:
  1. Model Penggantian, yang terbagi menjadi dua, (1) Penggantian Total yang menganggap hanya agama Kristen yang memiliki kebenaran dan menjadi jalan keselamatan, dan (2) Penggantian Parsial yang menganggap bahwa Allah menyatakan atau mewahyukan diri-Nya di dalam agama-agama non-Kristen tetapi keselamatan hanya ada di dalam agama Kristen.
  2. Model Pemenuhan berintikan gagasan bahwa Allah hadir di dalam agama-agama non-Kristen, namun kekristenan yang memiliki Yesus Kristus berperan menyempurnakan agama-agama yang lain. Contoh dari model ini adalah pandangan Gereja Katolik Roma pasca-Konsili Vatikan II yang menyatakan bahwa ada 'sinar kebenaran' di dalam agama-agama non-Kristen namun kepenuhan penyataan Allah hanya ada melalui gereja yang mengenal Yesus Kristus. Contoh lainnya adalah teolog Katolik Karl Rahner dengan konsep 'Kristen Anonim'.
  3. Model Mutualitas prinsipnya menyatakan bahwa seluruh agama yang ada berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam beberapa hal, yang mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual.  Ada tiga jembatan yang dikemukakan oleh Knitter:
    1. Jembatan filosofis-historis yang menyatakan bahwa ada satu kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama.
    2. Jembatan religius-mistik yang memercayai bahwa yang Ilahi itu hadir dalam pengalaman mistik semua agama.
    3. Jembatan etis-praktis yang mengatakan bahwa ada keprihatinan dan fokus bersama dari semua agama yakni situasi dunia masa kini yang dipenuhi kemiskinan dan penderitaan.
  4. Model Penerimaan merupakan pemetaan Knitter terhadap model-model teologi agama-agama yang berkembang pada dasawarsa terakhir abad ke-20. Pendekatan-pendekatan di dalamnya berusaha mengembangkan posisi di mana identitas (partikularitas) Kristen maupun agama-agama lain dapat dihargai sepenuhnya, namun ada keterbukaan dan relasi dengan agama-agama lainnya.  Ada tiga pendekatan yang dimasukkan Knitter ke dalam model ini, yakni (1) teologi pasca-liberal, (2) teologi komparatif, dan (3) pandangan teologis S. Mark Heim.

 

Knitter dan Teologi Komparatif

Di dalam karya terbaru Knitter, Without Buddha I Cannot be a Christian (2009), ia menggunakan pendekatan teologi komparatif. Buku tersebut berisi perbandingan konsep-konsep Kristen dengan konsep-konsep dalam Buddhisme.

3. John Hick

Lahir di Yorkshire, Inggris tahun 1922, mendapatkan pendidikan teologi di Edinburg dan Oxford. John Hick adalah tokoh yang terkenal dengan pluralime, dialog antar agama-agama.
John Hick adalah seorang pemikir dalam bidang filsafat agama-agama. Ia pernah sekolah di Claremont School of Graduate Studies di California. John Hick adalah seorang pendeta di United Reform Church (gereja reformis). Ia seorang penulis yang produktif dan buku yang dituliskannya meliputi Evil and the God of Love (1979), The Second Christianity dan The Metaphor of God Incarnate. Ia adalah filsuf yang paling signifikan mengenai agama-agamanya di zamannya, ia mengingat pembelaannya mengenai verifikasi eskatologi. Hick menjadi editor dalam buku The Myth of God Incarnate yang sensasi minor dalam gereja karena mengarahkan doktrin inkarnasi bukan kebenaran literer, klasik. Beberapa tahun belakangan ia masuk ke dalam pertanyaan yang menjengkelkan mengenai hubungan kekristenan dengan agama-agama lain dan ia meletakkan pemikirannya dengan menganjurkan posisi pluralis-yaitu keselamatan mungkin bukan sesuatu yang eksklusif yang ditemukan melalui kemanusiaan Yesus.

 

Pemikiran

John Hick seorang teolog Inggris dan juga seorang filsuf. Hick mempunyai pengalaman belajar dan hidup bersama dengan komunitas yang beragama lain di kota kelahirannya Birmingham. Dari kehidupannya ia menyadari banyak rahmat. Hick melihat ke abad-abad sebelumnya dalam hal keseganan gereja menghadapi perubahan dalam teologi agama-agama Kristen. Hick menyapa Tuhan bukan dengan nama Allah melainkan dengan sebutan ‘Yang Nyata’. Ia tidak mencari nama melainkan penunjuk, ia berusaha mencari istilah bukan untuk menjelaskan apa yang ada di pusat melainkan ada satu pusat walaupun manusia tidak tahu dengan jelas dan benar apa isinya. Semua agama sama efektifnya, atau sama tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para pengikutnya mengubah haluan kehidupan mereka dari ingat diri sendiri ke ingat akan Yang Lain. Mengenai nama Allah, Hick ingin menunjukkan banyaknya perbedaan dan untuk saling melengkapi. Ketika banyak agama saling memperdebatkan hal yang lebih baik, maka jawabannya akan dijawab secara eskatologis. Oleh karena itu, apa yang hanya bisa diketahui pada akhir zaman tidak perlu mengganggu perjalanan. John Hick mengatakan bahwa kebenaran yang sesungguhnya terletak di depan fenomena semua agama. Yesus adalah jalan untuk kekristenan, tetapi Taurat untuk orang-orang Yahudi, dan hukum Islam berdasar pada teks dari Muhamad, Al-Quran untuk umat Muslim, dll. Melangkah lebih jauh, semua agama mengajarkan kebenaran dan keadilan, itulah cara beriman yang paling benar untuk semua orang percaya. Hick mendapatkan pengaruh dari filsuf yang ternama, Imanuel Kant yang tidak mengarahkan pikirannya mengenai hal-hal besar, seperti kekristenan, Islam atau Yahudi. Kant lebih mengarahkan pikirannya kepada teks-teks kuno dan tradisi. Dengan demikian pemahaman lama Hick mengenai Yesus adalah keselamatan satu-satu, diperbarui dan menghasilkan dialog antar agama.

Kristologis

Yesus merupakan satu-satunya penghubung antara Tuhan dan manusia. OLeh karena itu orang-orang Kristen tidak meninggalkan keyakinan mengenai inkarnasi dan Yesus sebagai anak Allah. Dalam pernyataan ini dapat dilihat adanya unsur puitis, simbolis dan metafora. Pernyataan bahwa Yesus adalah anak Allah menunjukkan sikap, perasaan, keyakinan dan perasaan. Pernyataan ini lahir karena orang-orang Kristen sudah merasakan Allah berbicara kepada mereka, menyentuh mereka, memberi inspirasi kepada mereka melalui Yesus.
Untuk memahami Yesus sebagai anak Allah dalam bahasa simbolis, Hick menyarankan agar menggunakan kristologi Roh untuk memahami hal ini. Di dalam Kristologi Roh, Yesus dikenal sebagai ilahi bukan karena Allah secara harafiah turun dari surga dan secara harafiah juga menghamili ibu Yesus, tetapi karena Yesus memang dipenuhi Roh yang diberikan kepada semua orang dan memberi respon total terhadap roh itu. Hick meringkaskan pemahamannya mengenai keunikan Yesus dalam bahasa Latin, umat Kristen dihadapan sesama umat Kristen dan agama lain harus menyaksikan bahwa Yesus adalah totus Deus - Tuhan seutuhnya. Namun mereka tidak bisa beranggapan bahwa Ia adalah totum Dei - Tuhan keseluruhan. Siapa Yesus itu, semua yang ia lakukan dan yang ia katakan diperoleh dari, dan dinyatakan oleh, Roh Ilahi. Namun, siapa Roh Ilahi itu dan apa yang dilakukan tidak hanya terbatas pada Yesus, atau kepada inkarnasi Ilahi manusia siapa pun.

4. Raimundo Panikkar

Lahir dengan nama Raimundo Pániker Alemany di Barcelona, Catalunya, Spanyol, 3 November 1918 – meninggal di Tavertet, Catalunya, Spanyol, 26 Agustus 2010 pada umur 91 tahun; namanya ditulis pula "Raimon" atau "Raymundo") adalah salah seorang tokoh yang paling terkemuka dalam dialog antar-agama. Panikkar adalah seorang pastor Katolik Roma, pakar Hindu, dan mempunyai hubungan yang kuat dengan Buddhisme, serta seorang profesor yang mengkhususkan diri dalam Perbandingan Filsafat Agama.
Panikkar lahir di Barcelona, Spanyol, ibunya beragama Katolik dan berkebangsaan Spanyol, Catalunya, sedangkan ayahnya seorang yang beragama Hindu dari India. Sejak kecil Panikkar telah dididik dalam tradisi Katolik Roma Orthodoks dan dipengaruhi oleh tradisi Hindu-India dari ayahnya. Ketika memasuki dunia pendidikan terutama ketika dia bergelut dengan pendidikan filsafat dan teologi, Panikkar mulai mengarahkan pemikirannya pada proses pertemuan antarkultur dan agama. Ia belajar dengan seorang guru bahasa Sanskerta asal Spanyol bernama Juan Mascaro karena ia ingin mempelajari budaya Sanskerta. Panikkar telah meraih dua gelar doktor, yaitu pada tahun 1946 dalam bidang Filsafat yang berhubungan dengan ekologi dan kedua pada tahun 1958 dalam bidang kimia dengan sebuah tesis mengenai Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kemudian pada tahun 1961, Panikkar berhasil mengambil gelar doktor yang ketiga dalam bidang studi agama-agama. Panikkar menjadi seorang profesor studi agama-agama di Universitas California di Santa Barbara. Dia juga menjadi profesor kehormatan di sebuah Sekoklah Tinggi Teologi Bersatu, Bangalore, dan sebagai pengajar lepas di Universitas Roma. Dalam hidupnya, Panikkar banyak menyumbangkan karya besar dan terkenal terutama dalam bidang studi agama-agama. Karya-karya tersebut berisikan pemikiran Panikkar mengenai pertemuan antarkultur dan tradisi religius dan bagaimana cara menjembatani suatu tradisi yang berbeda itu menjadi perpaduan yang menarik tanpa harus meninggalkan warna aslinya.

 

Pemikirannya

Tentang Filsafat

Filsafat bagi Panikkar adalah sebuah gaya hidup yang mengikutsertakan seluruh eksistensi dan tujuannya adalah sebagai sebuah transformasi fundamental bagi personalitas manusia, yaitu sebagai realitas yang tercermin dan terbentuk. Hal inilah yang menjadi dasar pandangan Panikkar memandang filsafat dalam dua prinsip, yakni filsafat sebagai "cinta akan kebijaksanaan dan kebijaksanaan akan cinta".

Tentang mistik

Bagi Panikkar, pengalaman akan mistik adalah sesuatu yang bermanfaat bagi keanekaragaman yang banyak dan kesatuan mendalam dari semua agama. Melalui pengalaman mistik ini, Panikkar berusaha mengadakan dialog intereligius dengan bentuk proyek kosmotheandrik yang hendak mengatakan bahwa ada tiga dimensi yang menentukan dan membangun realitas dan merupakan sebuah kehidupan terdalam dari realitas, yaitu realitas Yang Ilahi, manusia dan dunia. Knitter mengakui bahwa, Panikkar adalah seorang pluralis yang maverik di mana ia sikap yang netral dengan tidak memihak pada satu kelompok tertentu. Ia dapat menjaga jarak terhadap pihak-pihak yang kontradiktif dalam situasi dan kondisi perjumpaan antara agama. Dalam pandangannya akan agama yang beragam, Panikkar memahami yang "Misteri" dalam agama-agama adalah sebuah realitas yang tidak berada dalam dirinya sendiri - artinya tanpa manusia di dalam dunia.

Tentang Kristus

Menurut Panikkar, jika ingin berbicara tentang Allah atau agama, Allah atau Yang Ilahi itu sendiri beragam bukan hanya satu seperti halnya agama-agama. Panikkar memahami inkarnasi Yesus sama dengan apa yang dipahami oleh Song yaitu, dikenal dengan istilah "The Unknown Christ of Hinduism" (Kristus yang tidak dikenal, di mana Yesus adalah Kristus namun Kristus bukanlah Yesus). Allah menjadi manusia tidak hanya melalui Kristus atau dengan kata lain, Allah tidak berinkarnasi di dalam Yesus saja tetapi juga agama lain, seperti di dalam agama Hindu. Kristus dan Yesus adalah dua tokoh yang berbeda menurut Panikkar. Kristus adalah misteri ilahi bukan satu realitas yang memiliki banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di masing-masing agama, Kristus ada dan menyelamatkan (inilah salah satu pernyataannya dari bukunya The Unknown Christ of Hinduism). Walau pun demikian Panikkar tetap menekankan kebenaran yang bertumpu pada firman yang menjadi daging untuk menolak semua unsur agama yang abstrak atau transenden dan untuk menekankan keluasan penyataan Allah yang tidak hanya dimonopoli oleh inkarnasi Kristus dalam Alkitab.

 

Referensi

1.    Alan Race. 1983. Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions. Maryknoll, NY: Orbis Books.
2.      Th. Sumartana. 2007. "Theologia Religionum". Di dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Tim Balitbang PGI (Eds.). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
3.      B.J. Banawiratma. 2007. "Mengembangkan Teologi Agama-Agama".Di dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Tim Balitbang PGI (Eds.). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
4.      Silvester Kanisisus L. 2006. Allah dan Pluralisme Religius. Jakarta: OBOR. Hlm. 1,2.
5.      Stevi Indra Lumintang 2009. Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama. Jawa Timur: Gandum Mas. Hlm. 146,147.
6.      Paul F. Knitter. 2008. Pengantar Ke Dalam Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius. Paul F. Knitter. 1999. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions. Maryknoll, NY: Orbis Books.
7.      Paul F. Knitter. 2004. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 20-24, 35-36, 44, 52-53.
8.      Paul F. Knitter. 2001. "Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama". Di dalam Mitos keunikan agama Kristen, eds. John Hick dan Paul F. Knitter, 274-309. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
9.        Paul F. Knitter. 2005. Menggugat Arogansi Kekristenan. Yogyakarta:Kanisius. 168-193.
10.    Paul F. Knitter. 2009. Without Buddha I Cannot be a Christian. Oxford:One World Publications.